Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati
Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga menilai, Indonesia sebagai produsen sawit
terbesar dunia seharusnya bisa berdaulat menentukan harga sawitnya sendiri.
Saat ini, harga sawit Indonesia masih mengacu pada
harga indkes luar negeri seperti Malaysia Derivatives Exchange (MDEX) atau
Rotterdam. Terlebih, Sahat mengatakan porsi pasar sawit Indonesia adalah untuk
ekspor sehingga Indonesia sulit untuk bisa berdaulat menentukan harga sawitnya.
Sahat menyarankan agar pemerintah membuat regulasi
yang konsisten, tidak seperti pertengahan tahun 2022 lalu ketika terjadi
masalah minyak goreng. Sahat menghitung, harga jual sawit di dalam negeri
rata-rata hanya USD 800 per ton sementara bila diekspor mencapai USD 1.100 per
ton.
Sahat melanjutkan, apa yang diperlukan industri
sawit di Indonesia adalah regulasi yang konsisten dan keamanan dalam berusaha.
Dengan begitu, porsi penjualan sawit akan dominan di dalam negeri sehingga
Indonesia sebagai produsen terbesar tidak perlu berkiblat pada indeks harga
luar. Soal penyerapan, dia juga menjelaskan ada banyak produk turunan sawit
yang bisa dikembangkan, tidak hanya minyak goreng saja.
Dihubungi terpisah, Ketua Bidang Komunikasi Gabungan
Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI) Tofan Mahdi mengatakan, sebenarnya Indonesia
memiliki tender KPBN sebagai acuan harga minyak sawit (CPO).
Adapun pemerintah kini tengah menyiapkan bursa
komoditas sawit. Tofan mengatakan pihaknya akan melihat dahulu detailnya bursa
tersebut. Dia mengatakan pihaknya mendukung apa pun kebijakan pemerintah yang
bertujuan meningkatkan kinerja sawit Tanah Air.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan
(Zulhas) menyayangkan Indonesia masih berpatokan pada Malaysia untuk harga CPO,
meskipun Indonesia produsen terbesar sawit dunia.
0 komentar:
Posting Komentar