Kamis, 13 Oktober 2022

 


Upaya Indonesia mengembalikan defisit ke kisaran di bawah 3% pada 2023 mendapatkan tantangan berat. Kondisi ekonomi global tengah diguncang risiko resesi tahun depan.

Alhasil, guncangan eksternal ini akan mempengaruhi penerimaan negara dari pajak ke depannya. Di sisi lain, efek windfall profit atau 'durian runtuh' dari ekspor komoditas akan berkurang sering permintaan seret akibat perlambatan ekonomi dunia.

Ekonom senior Chatib Basri mengungkapkan jika pemerintah ingin defisit berada di kisaran 2,6-2,9% terhadap PDB pada 2023, maka total penerimaan di dalam APBN harus mencapai 11,2 - 11,7% terhadap PDB, sementara rasio pajak sekitar 9%.

Jika ingin defisit turun di tengah penerimaan pajak yang mengalami penurunan, maka pemerintah harus memangkas belanja cukup besar.

"Defisitnya harus di bawah 3%, berarti spending-nya harus di-cut lebih banyak. Kalau spending cut lebih banyak, eksternalnya drop, moneternya tight, fiskalnya kontraksi lebih dalam. Efeknya lebih dalam," papar Chatib.

Chatib menegaskan pemerintah harus berani memilih prioritas, antara anggaran yang perlu dan sekedar 'ingin' saja. Untuk proyek yang diinginkan, dia menilai pemerintah bisa menundanya.

"Prioritas penting pemerintah itu harus memisahkan mana 'yang harus' dan mana 'yang ingin'. Kita gak punya ruang entertain 'yang ingin'. Bayangin kalau revenue turun atau tidak setinggi tahun lalu. Kemudian, defisit diturunkan, berarti kan itu alokasi dari budget jadi ketat," ujar Chatib.

Salah satu, kata Chatib, pos pengeluaran yang bisa dikaji pemerintah adalah insentif fiskal atau insentif pajak. Meskipun, dia memahami jika pos ini dipangkas, banyak pengusaha yang tidak 'happy'.


0 komentar:

Posting Komentar